Selasa, 16 Maret 2010

PENDEKATAN HUKUM KEAMANAN SISTEM INFORMASI

a. Asas Hukum Sistem informasi

Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace, pertama adalah pendekatan teknologi, kedua pendekatan sosial budaya-etika, dan ketiga pendekatan hukum. Untuk mengatasi gangguan keamanan pendekatan teknologi sifatnya mutlak dilakukan, sebab tanpa suatu pengamanan teknologi akan sangat mudah disusupi, dintersepsi, atau diakses secara ilegal dan tanpa hak.
Dalam ruang cyber pelaku pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena hukum dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan hukum yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia. Dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis jurisdiksi, yakni jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe), jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu : pertama, subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain. Kedua, objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana
akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan. Ketiga, nationality yang menentukan bahwa Negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku. Keempat, passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban. Kelima, protective principle yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah, dan keenam, asas Universality.
Asas Universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal
interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain.
Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional.
Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant (online) phenomena and physical location.
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber dimana pengaturan dan penegakan hukumnya tidak dapat menggunakan cara-cara tradisional, beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya kegiatan-kegiatan dalam cyberspace diatur oleh hukum tersendiri, dengan mengambil contoh tentang tumbuhnya the law of merchant (lex mercatoria) pada abad pertengahan. Asas, kebiasaan dan norma yang mengatur ruang cyber ini yang tumbuh dalam praktek dan diakui secara umum disebut sebagai Lex Informatica.
Sengketa-sengeketa di ruang cyber juga terkait dengan Hukum Perdata Internasional, antara lain menyangkut masalah Kompetensi forum yang berperan dalam menentukan kewenangan forum (pengadilan dan arbitrase) penyelesaian kasus-kasus perdata internasional (HPI). Terdapat dua prinsip kompetensi dalam HPI : pertama, the principle of basis of presence, yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan untuk mengadili ditentukan oleh tempat tinggal tergugat. Kedua, principle of effectiveness yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan ditentukan oleh di mana harta-benda tergugat berada. Prinsip kedua ini penting untuk diperhatikan berkenaan dengan pelaksanaan putusan pengadilan asing (foreign judgement enforcement).
Asas kompetensi ini harus dijadikan dasar pilihan forum oleh para pihak dalam transaksi e-commerce. Kekecualian terhadap asas ini dapat dilakukan jika ada jaminan pelaksanaan putusan asing, misalnya melalui konvensi internasional.
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka dapat dikemukakan beberapa teori sebagai berikut : Pertama The Theory of the Uploader and the Downloadr Berdasarkan teori ini, suatu negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap orang untuk uploading kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam wilayah negara, dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk downloading kegiatan perjudian tersebut. Minnesota adalah salah satu negara bagian pertama yang menggunakan jurisdiksi ini. Kedua adalah teori The Law of the Server. Pendekatan ini memperlakukan server di mana webpages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data elektronik. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford University tunduk pada hukum California. Namun teori ini akan sulit digunakan apabila uploader berada dalam jurisdiksi asing. Ketiga The Theory of International Spaces. Ruang cyber dianggap sebagai the fourth space. Yang menjadi analogi adalah tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional, yakni sovereignless quality.

b. Instrumen Internasional di Bidang Kejahatan Cyber

Instrumen Hukum Internasional di bidang kejahatan cyber (Cyber Crime) merupakan sebuah fenomena baru dalam tatanan Hukum Internasional modern mengingat kejahatan cyber sebelumnya tidak mendapat perhatian negara-negara sebagai subjek Hukum Internasional. Munculnya bentuk kejahatan baru yang tidak saja bersifat lintas batas (transnasional) tetapi juga berwujud dalam tindakan-tindakan virtual telah menyadarkan masyarakat internasional tentang perlunya perangkat Hukum Internasional baru yang dapat digunakan sebagai kaidah hukum internasional dalam mengatasi kasus-kasus Cybercrime.
Instrumen Hukum Internasional publik yang mengatur masalah Kejatan cyber yang saat ini paling mendapat perhatian adalah Konvensi tentang Kejahatan cyber (Convention on Cyber Crime) 2001 yang digagas oleh Uni Eropa. Konvensi ini meskipun pada awalnya dibuat oleh organisasi Regional Eropa, tetapi dalam perkembangannya dimungkinkan untuk diratifikasi dan diakses oleh negara manapun di dunia yang memiliki komitmen dalam upaya mengatasi kejahatan Cyber.
Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Council of Europe) pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria telah membuat dan menyepakati Convention on Cybercrime yang kemudian dimasukkan dalam European Treaty Series dengan Nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh minimal 5 (lima) negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh 3 (tiga) negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal (criminal policy) yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cyber crime, baik melalui undang-undang maupun kerjasama internasional.
Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sehubungan dengan semakin meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi, dan globalisasi yang berkelanjutan dari teknologi informasi, yang menurut pengalaman dapat juga digunakan untuk melakukan tindak pidana. Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut : Pertama, bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar Negara dan Industri dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya kebutuhan untuk melindungi kepentingan yang sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi. Kedua, Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem, jaringan dan data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Hal lain yang diperlukan adalah adanya kepastian dalam proses penyelidikan dan penuntutan pada tingkat internasional dan domestik melalui suatu mekanisme kerjasama internasional yang dapat dipercaya dan cepat. Ketiga, saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi manusia sejalan dengan Konvensi Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi Manusia dan Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik Dan sipil yang memberikan perlindungan kebebasan berpendapat seperti hak berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi/pendapat.
Konvensi ini telah disepakati oleh Masyarakat Uni Eropa sebagai konvensi yang terbuka untuk diakses oleh negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk dijadikan norma dan instrumen Hukum Internasional dalam mengatasi kejahatan cyber, tanpa mengurangi kesempatan setiap individu untuk tetap dapat mengembangkan kreativitasnya dalam pengembangan teknologi informasi.

c. Kasus Indonesia

Untuk Indonesia, regulasi hukum cyber menjadi bagian penting dalam sistem hokum positif secara keseluruhan. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu segera menuntaskan Rancangan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) untuk dijadikan hukum positif, mengingat aktivitas penggunaan dan pelanggarannya telah demikian tinggi. Regulasi ini merupakan hal yang sangat ditunggu-tunggu masyarakat demi terciptanya kepastian hukum. RUU ITE sendiri dalam hal materi dan muatannya telah dapat menjawab persoalan kepastian hokum menyangkut tindak pidana carding, hacking dan cracking, dalam sebuah bab tentang perbuatan yang dilarang dimuat ketentuan yang terkait dengan penyalahgunaan teknologi informasi, yang diikuti dengan sanksi pidananya. Demikian juga tindak pidana dalam RUU ITE ini diformulasikan dalam bentuk delik formil, sehingga tanpa adanya laporan kerugian dari korban aparat sudah dapat melakukan tindakan hukum.
Hal ini berbeda dengan delik materil yang perlu terlebih dulu adanya unsur kerugian dari korban.
RUU ITE merupakan satu upaya penting dalam setidaknya dua hal, pertama : pengakuan transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka hokum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin. Kedua: Diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI disertai sanksi pidananya termasuk untuk tindakan carding, hacking dan cracking.
Untuk selanjutnya setelah RUU ITE diundangkan, pemerintah perlu pula untuk memulai penyusunan regulasi terkait dengan tindak pidana cyber (Cyber Crime),
mengingat masih ada tindak-tindak pidana yang tidak tercakup dalam RUU ITE tetapi dicakup dalam instrumen Hukum Internasional di bidang tindak pidana cyber, misalnya menyangkut tindak pidana pornografi, deufamation, dan perjudian maya. Untuk hal yang terakhir ini perlu untuk mengkaji lebih jauh Convention on Cyber Crime 2000, sebagai instrumen tindak pidana cyber internasional, sehingga regulasi yang dibuat akan sejalan dengan kaidah-kaidah internasional, atau lebih jauh akan merupakan implementasi (implementing legislation) dari konvensi yang saat ini mendapat perhatian begitu besar dari masyarakat internasional.

d. Informasi Elektronik Belum Serupa Dengan Surat

Rekaman elektronik audiovisual dapat dikategorikan sebagai petunjuk. Sayangnya, sering hakim memposisikan hasil cetak informasi elektronik bukan sebagai surat, kecuali jika dibuat oleh dan/atau dicetak di hadapan pejabat yang berwenang.
Baru-baru ini pemerhati hukum mempertanyakan kembali kedudukan informasi elektronik dalam sistem hukum nasional, khususnya dalam praktek hukum acara pidana, terutama penerapannya pada kasus Tempo dan TI-KPU. Satu hal yang cukup memprihatinkan adalah masih banyak ahli hukum yang berasumsi bahwa keberadaan informasi elektronik kurang bernilai secara hukum hanya karena sifatnya yang rentan akan perubahan. Asumsi ini tidak salah, tetapi kurang pas penerapannya. Dengan alasan bentuknya yang elektronik, kehadirannya di persidangan sering diabaikan dan tak digali lebih lanjut oleh para hakim untuk dijadikan petunjuk. Padahal, mestinya hakim wajib menggali lebih lanjut, mencari kesesuaian dengan informasi yang diperoleh dari surat, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa. Bahkan, sesuai perkembangan zaman, hakim diharapkan cukup tahu dan mengikuti perkembangan teknologi yang ada atau paling tidak dapat menggalinya dengan baik dari keterangan ahli.
Selain itu, masih sering terjadi salah paham tentang bagaimana memperlakukan keberadaan informasi dengan medianya. Kehadiran informasi memang tak lepas dari suatu media, dan setiap media tentu punya karakter dan keunikan tersendiri. Oleh karena itu, sepatutnya hakim memperhatikan bagaimana mekanisme informasi itu dilekatkan (fiksasi) pada suatu media, baik pada kertas (cetak) maupun media elektronik (analog maupun digital).
Mekanisme pembuktian dalam bentuk rekaman suara biasa dengan digital memang berbeda. Dalam mekanisme analog konvensional, penyimpanan data tidak mempunyai metadata (data yang menerangkan data itu sendiri) sebagaimana lazimnya dilakukan dalam dunia digital. Walau keduanya tetap memerlukan keterangan ahli untuk meyakinkan validitasnya, rekaman suara konvensional relatif lebih sulit mekanismenya karena tergantung pada subjektivitas keterangan ahli forensik.
Agar keterangan ahli forensik terjamin objektivitas dan validitasnya, maka alat-alat yang digunakan dalam memeriksa harus tersertifikasi. Bagaimana mungkin menganalisis suara seseorang hanya dengan mengandalkan aplikasi umum multimedia tanpa standarisasi dan jaminan produk yang baik (tak ada garansi fitness for particular purpose). Oleh karena itu, ahli forensik harus menggunakan aplikasi khusus dengan standarisasi yang jelas, ia harus mengetahui dan dapat menerangkan bagaimana alatalatnya itu bekerja, sehingga sampai pada suatu keterangan yang berguna bagi hukum.
Sebagian ahli hukum menyatakan bahwa informasi elektronik hanya dapat dikategorikan sebagai barang bukti dan/atau paling jauh sebagai alat bukti petunjuk.
Hal ini tak sepenuhnya tepat. Informasi berupa rekaman elektronik audiovisual (foto, rekaman suara, dan video) memang dapat dikategorikan sebagai petunjuk. Namun, informasi elektronik tekstual sebenarnya hampir identik dengan keberadaan surat, hanya medianya belum dikertaskan. Sayangnya, sering hakim memposisikan hasil cetak informasi elektronik bukan sebagai surat, kecuali jika ia dibuat oleh dan/atau dicetak di hadapan pejabat yang berwenang. Ironisnya, penjelasan Pasal 41 KUHAP menyatakan bahwa yang termasuk "surat" adalah surat kawat, surat teleks, dan sejenisnya, yang mengandung suatu berita.
Padahal jelas-jelas berita dalam surat kawat atau teleks sebenarnya bentuk asalnya adalah pesan elektronik yang disampaikan secara elektronik pula, yang kemudian dikertaskan.
Sungguh suatu "mekanisme hukum yang inkonsisten" jika informasi elektronik dikenal sebagai surat untuk kepentingan proses penyitaan oleh para penyidik, sementara ia tak dapat dikenal sebagai surat dalam proses pemeriksaan atau pembuktian berdasarkan Pasal 184 KUHAP oleh para hakim. Oleh karena itu, mestinya objektif pemikiran hukumnya adalah diarahkan pada bagaimana menerima kehadiran informasi elektronik itu sebagaimana layaknya surat, terlepas apakah ia telah dicetak atau belum. Jelas, sejak dari bentuk elektroniknya ia harus telah bernilai secara hukum, tetapi baru dapat menjadi alat bukti jika telah terjamin validitasnya.
Sebenarnya kehadiran informasi selain kertas (elektronik) cukup lama dikenal dalam sistem hukum nasional. Paling tidak ia diakui sebagai "arsip" berdasarkan UU No. 7/1971 tentang Ketentuan Pokok Kearsipan. Selanjutnya, informasi elektronik juga dikenal sebagai "dokumen perusahaan" berdasarkan UU No. 8/1997 tentang Dokumentasi Perusahaan.



e. Kesaksian Palsu

Dalam perkembangannya, keberadaan informasi elektronik diakui sebagai "alat bukti lain" selain 184 KUHAP berdasarkan Pasal 38 UU No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 27 UU No. 16/2003 jo UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Pasal 26 (a) UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ringkasnya, ia dikatakan sebagai alat bukti baru yang merupakan pelengkap dari alat-alat bukti yang telah dikenal dalam Pasal 184 KUHAP (surat, petunjuk, keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa) dan bukan merupakan bagian dari kategorisasi alat bukti yang telah dikenal itu. Tampaknya, pemikiran ini cenderung keliru.
Sebagai konsekuensinya, timbul dua pendapat. Satu pendapat yang menyatakan bahwa informasi elektronik hanya layak diterima dalam lingkup pembuktian tindak pidana tertentu saja, sebagaimana disebutkan secara jelas dalam UU Terorisme, UU Pencucian Uang, dan UU Korupsi. Pendapat lain yang menyatakan bahwa seharusnya ia juga dapat diterima di pengadilan untuk semua tindak pidana di luar itu. Paling tidak, semestinya ia juga dapat dikategorikan sebagai alat bukti petunjuk atau bahkan surat, sepanjang ia dapat diyakini validitas isinya oleh hakim.
Penjelasan Pasal 3 PP No. 8/1999 menyatakan bahwa suatu dokumen yang bentuk aslinya adalah elektronik tak perlu di-hardcopy-kan terlebih dahulu untuk mempunyai kekuatan pembuktian. Sekilas ini dirasa cukup baik. Namun, jika hakim langsung percaya kepada suatu informasi elektronik tanpa harus melihat validitasnya, ketentuan ini jelas akan sangat membahayakan.
Dalam sudut pandang hukum informasi dan komunikasi, suatu proses pemeriksaan dan/atau pembuktian sebenarnya hanyalah mekanisme hukum untuk membuat jelas suatu perbuatan hukum dan peristiwa hukum. Objektifnya adalah forum untuk menghadirkan semua informasi yang terkait dengan hal itu dalam semua media sepanjang hal itu valid. Di sini hakim seharusnya menggunakan kecerdasannya untuk tidak terkunci kepada penamaan media penyimpan informasi itu sendiri secara konvensional (kertas), melainkan harus melihat dan memperhatikan sejauh mana keunikan setiap media itu, sehingga ia akan memperoleh informasi untuk mendapat keyakinannya.
Majelis hakim tak boleh hanyut oleh pemikiran yang menyatakan bahwa Pasal 184 KUHAP bersifat limitatif (artinya, alat bukti yang dikenal hanya ada 5), di luar itu tak ada lagi kecuali untuk tindak pidana tertentu. Oleh karena kepentingan hukum dalam proses pembuktian menghendaki fleksibilitas, sepatutnya hakim berprinsip, seharusnya semua informasi dapat dihadirkan dan/atau diterima di pengadilan sepanjang informasi itu relevan dengan kasus dan terjamin validitasnya, serta diperoleh dengan cara-cara yang sesuai hukum.
Prinsip ini dianut oleh negara maju, meski dalam penerapannya mereka juga membuat prosedur-prosedur khusus untuk itu dengan pemikiran real evidence, hearsay evidence, derived evidence, dan sebagainya. Hakim harus jeli melihat bahwa memang tak semua informasi langsung dipercaya validitasnya, tetapi juga jangan langsung menampiknya sebagai sesuatu yang bernilai secara hukum.
Dari semua pemikiran itu, patut dipertanyakan bagaimana mekanisme penerimaannya di pengadilan. Hakim perlu punya pedoman bagaimana ia memeriksa validitas informasi elektronik agar jangan sampai suatu informasi yang tak terjamin keutuhannya akan mengakibatkan terpidananya seseorang. Meski hal itu harus terjawab berdasarkan kecerdasan hakim dalam menggali alat bukti, petunjuk yang sekarang ini tak begitu digali oleh hakim yang terkesan sangat pasif dan berlindung di balik "kejelasan kata-kata" dalam UU. Bukankah jika dirasakan kurang jelas, justru hakim yang harus membuatnya jelas bagi masyarakat?
Pada sisi yang lain, hakim juga harus memberikan sanksi kepada orang yang jelas-jelas menampik keterkaitannya dengan suatu informasi yang dihadirkan ke pengadilan, sekiranya ternyata secara teknologi memang benar orang itu terkait. Paling tidak ia telah memberikan keterangan palsu dan semestinya dikenai pidana. Misalnya, ada seseorang yang menyatakan bahwa keberadaan suara pada alat rekam dikatakan bukan merupakan suaranya, dan/atau menampik pesan elektronik yang telah dikirimkannya.
Jika ternyata dapat dibuktikan oleh ahli forensik bahwa memang itu merupakan suaranya dan/atau pesannya, maka berarti ia telah berbohong tidak hanya kepada majelis hakim, tetapi juga kepada publik. Akan lebih baik jika ia juga dikenai pasal untuk tindak pidana lain selain kesaksian palsu, seperti penipuan, menyebarkan kebohongan, atau bahkan menghina pengadilan.
Sehubungan dengan kebutuhan itu, hakim perlu suatu ketentuan hukum yang dapat menjadi pedoman bagaimana prosedur-prosedur dalam melihat validitas informasi elektronik. Informasi "yang layak dipercaya" adalah yang berasal dari "sistem yang layak dipercaya" karena sistem telah terjaga dan terjamin berjalan sebagaimana mestinya, kecuali didapat bukti lain. Untuk memahami hal tersebut, hakim perlu mempelajari pola pemikiran dalam RUU Informasi dan Transaksi Elektronik yang tengah dibahas di DPR.

f. Alat-Alat Bukti

Alat-alat bukti yang dikenal dalam Pasal 26 (a) UU 20/2001 tentang perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 27 UU No. 16/2003 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti UU No. 2/2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi UU, dan Pasal 38 UU No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah:
· Alat-alat bukti dalam KUHAP,
· Alat bukti lain yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan
· Dokumen yang mencakup data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
tulisan, suara atau gambar
peta, rancangan, foto atau sejenisnya
huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Semua ketentuan itu dapat dikatakan sebagai lex generalis dari KUHP karena keberadaan Pasal 284 ayat (2) KUHAP, yang menyatakan bahwa dalam waktu dua tahun setelah UU ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan UU ini dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada UU tertentu sampai ada perubahan dan/atau dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dikutip dari :http://blog.poltek-malang.ac.id/media/3/20090528-4.%20PENDEKATAN%20HUKUM%20KEAMANAN%20SISTEM%20INFORMASI.doc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar